Laut Tercemar Tambang Ancam Nyawa Warga Desa Baliara Kabaena

  • Bagikan
Pemukiman warga pesisir Desa Baliara nampak dipenuhi endapan lumpur yang mencemari laut. (Ist)

ADASWARA.COM, KENDARI – Laut yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Desa Baliara, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), kini tercemar akibat aktivitas pertambangan nikel. Dampaknya telah dirasakan warga setempat yang kini merasa nyawanya tengah terancam.

Pencemaran laut di Desa Baliara yang kondisinya keruh dan berlumpur tersebut, diduga akibat aktivitas pertambangan nikel PT Timah Investasi Mineral dan PT Trias Jaya Agung. Hasil riset WALHI Sultra menemukan, semejak kedua perusahaan ini beroperasi, kualitas kehidupan warga mengalami penurunan drastis baik dari segi lingkungan, ekonomi, maupun kesehatan.

Kondisi semakin memprihatinkan dengan meningkatnya frekuensi banjir yang terjadi sejak aktivitas tambang berlangsung. Tak hanya itu, pada periode 2018 hingga 2025, seorang balita dilaporkan tenggelam dan sempat hilang di laut yang telah tercemar dan keruh tersebut.

Masyarakat Desa Baliara menyatakan bahwa mereka tidak menolak pembangunan. Namun, mereka menuntut agar pertambangan dilakukan dengan memperhatikan keselamatan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Mereka hanya ingin laut yang selama ini memberi hidup bisa kembali sehat dan hak atas lingkungan yang bersih serta aman bisa kembali dipenuhi.

“Kami dulu bisa hidup cukup hanya dari laut. Sekarang, laut bukan lagi tempat mencari rezeki, tapi sumber kecemasan. Anak-anak kami tidak lagi aman bermain di pantai. Ikan tak lagi bisa dikonsumsi. Kami hanya ingin hidup yang layak, bukan kemewahan,” kata Rahma, salah satu warga Desa Baliara.

Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, Andi Rahman, mengecam lemahnya pengawasan pemerintah terhadap operasi tambang yang merusak lingkungan.

“Apa yang terjadi di Desa Baliara adalah bentuk nyata dari abainya negara terhadap hak hidup masyarakat pesisir. Tambang nikel tidak hanya merusak ekosistem, tapi merampas ruang hidup. Pemerintah wajib hadir, bukan sekadar sebagai pengatur tapi pelindung warganya,” ucap Andi pada Minggu 13 April 2025.

Katanya, masyarakat Desa Baliara menyerukan perhatian serius dari pemerintah pusat dan daerah, aparat penegak hukum, serta seluruh pemangku kepentingan. Evaluasi menyeluruh dan tindakan nyata terhadap operasi tambang yang merusak ini menjadi kebutuhan mendesak.

“Jangan biarkan mereka yang paling dekat dengan sumber daya, justru menjadi korban dari eksploitasi yang tidak berkeadilan,” tegasnya.

Diketahui, Desa Baliara dikenal sebagai wilayah pesisir yang warganya menggantungkan hidup dari laut. Sebagian besar dari sekitar 300 kepala keluarga di desa tersebut bekerja sebagai nelayan dan petani rumput laut.

Dahulu, dalam satu kali melaut dari pukul 06.00 pagi hingga 12.00 siang, penghasilan nelayan bisa mencapai Rp700.000. Hasil tangkapan mereka bahkan dipasok hingga ke Makassar, menjadi bagian penting dalam rantai pasokan laut nasional.

Namun, sejak tambang nikel mulai beroperasi, air laut berubah menjadi keruh dan tercemar. Kini, meski melaut sejak subuh hingga malam, penghasilan nelayan hanya senilai Rp200.000.

Budidaya rumput laut dan keramba ikan juga terdampak. Banyak rumput laut gagal tumbuh, dan ikan-ikan dalam keramba mati. Warga bahkan mengaku takut mengonsumsi hasil laut sendiri karena khawatir tercemar limbah ore nikel.

Dampak lingkungan ini juga membawa risiko kesehatan. Air laut yang dulunya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kini menimbulkan keluhan seperti gatal-gatal setelah kontak langsung. Fenomena ini menunjukkan adanya pencemaran yang serius dan berpotensi membahayakan keselamatan manusia. (Ada)

Baca Juga Berita AdaSwara.com di Google News: https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMIyQqAwwnpi2BA
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *