ADASWARA.COM, MOROWALI – Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terus bertambah untuk memenuhi kebutuhan listrik industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah (Sulteng). Sayangnya, di tengah lonjakan pembangunan PLTU captive tersebut, yang diuntungkan hanyalah perusahaan. Sementara masyarakat sekitar terus menerus menanggung kerugian akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Berdasarkan catatan WALHI, saat ini kurang lebih 40 unit PLTU beroperasi di Sulteng. PLTU-PLTU ini terpusat di tiga kabupaten yakni Morowali, Morowali Utara, dan Bungku. Kepemilikannya didominasi oleh perusahaan asal Tiongkok, salah satunya adalah Delong Group.
Konsentrasi PLTU terbanyak berada di Morowali. Setidaknya 20 unit dengan kapasitas 2.970 MW kini beroperasi untuk memenuhi kebutuhan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Kapasitas ini akan bertambah lagi dengan 16 unit lainnya yang saat ini dalam proses rekonstruksi dengan kapasitas 2.600 MW.
“Kami melihat ada lonjakan penggunaan PLTU di sini, di IMIP. Jika dijumlah dengan PLTU yang sedang dalam rekonstruksi, kapasitasnya akan mencapai 5.000 MW,” kata Wandi, Staf Advokasi dan Kampanye WALHI Sulteng, dalam sebuah pertemuan di Morowali baru-baru ini.
Di Morowali Utara, 12 PLTU beroperasi dengan kapasitas 945 MW untuk memenuhi kebutuhan listrik perusahaan Gunbuster Nickel Industry (GNI). Sementara di Bungku, setidaknya 8 unit PLTU juga beroperasi di kawasan industri Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP).
Gejolak Korporat: Runtuhnya Delong dan Kebangkitan GNI
Lanskap industri ini dibentuk oleh naik turunnya kondisi korporat. Kisah PT Delong Nickel Indonesia (DNI), sebuah smelter unggulan di dalam IMIP, menjadi peringatan. Perusahaan ini menumpuk utang yang sangat besar, diperkirakan lebih dari $1,3 miliar, yang berujung pada proses kepailitan atau administration.
Dalam skema pertukaran utang menjadi saham (debt-to-equity swap), sebuah konsorsium kreditur, termasuk China Shuifa Singyes Energy, mengambil alih kendali perusahaan. Pemilik awal kehilangan kepemilikannya. Smelter DNI kini telah kembali beroperasi, tetapi dengan tujuan utama menjalankan pabrik secara menguntungkan untuk melunasi utang yang masih tersisa.
Sebaliknya, anak perusahaan DNI, Gunbuster Nickel Industry (GNI), tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Didirikan sebagai entitas terpisah dengan fokus pada rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV), GNI terlindungi dari kebangkrutan langsung perusahaan induknya.
GNI aktif beroperasi di IMIP dan memimpin proyek baru besar di luar Morowali, membangun kawasan industri dan kompleks smelter baru di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Kawasan baru ini menandakan kekuatan GNI dan peralihan strategis menuju pasar baterai EV yang tumbuh pesat.
Namun, restrukturisasi korporat ini membuat infrastruktur penting terbengkalai. Pembangkit listrik batu bara dedicated Delong Nickel Phase III berkapasitas 2.160 MW di IMIP menjadi salah satu korbannya. Meski kemungkinan besar sudah seles secara mekanis, operasinya terhenti. Pendanaan dari perusahaan induk, Tsingshan, membeku, dan permintaan dari smelter-smelter yang seharusnya dialiri listrik olehnya kolaps akibat krisis korporat. Pembangkit ini kini menjadi aset terlantar yang menunggu masa depan yang tidak pasti.
Dampak Buruk Operasi PLTU
Dampak merugikan dari aktivitas PLTU kian dirasakan oleh warga yang tinggal di sekitar kawasan industri. Lingkungan dan kesehatan masyarakat terus terganggu karena harus menghirup udara yang tercemar debu batu bara.

Hasil kajian dan penelitian Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulteng menemukan bahwa kurang lebih 1.478 warga, khususnya di kawasan IMIP, menderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pneumonia. Kondisi ini diduga kuat merupakan dampak dari PLTU captive yang terus-menerus menyebarkan debu batu bara di kawasan permukiman.
“Di Morowali, setidaknya ada empat desa yang paling terdampak aktivitas PLTU: Desa Fatufia, Labota, Kurisa, dan Bahodopi. Jumlah warga yang terdampak ISPA dan pneumonia terus bertambah,” ujar Direktur YTM Sulteng, Richard Fernandes Labiro.
Namun, di tengah memburuknya kualitas udara dan lingkungan secara terus-menerus, pemerintah daerah dan perusahaan terlihat mengabaikan masalah warga. Tidak ada posko pengaduan, tidak ada pula layanan pemeriksaan kesehatan rutin bagi mereka yang terdampak langsung oleh PLTU.
Masyarakat yang Pasrah
Hidup dalam lingkungan yang buruk, masyarakat di sekitar kawasan PLTU tidak bisa berbuat banyak. Bertahan dalam penderitaan seakan menjadi satu-satunya pilihan, terlebih bagi warga yang memilih bekerja di perusahaan.
Warga Desa Fatufia, contohnya, telah hidup berdampingan dan terpapar langsung oleh aktivitas PLTU di kawasan industri IMIP sejak 2013. Kebisingan dan debu telah menjadi realitas sehari-hari mereka.
“Kalau mau makan, kami sudah terbiasa harus mencuci peralatan makan dulu karena sudah dipenuhi debu,” ungkap Sekretaris Desa Fatufia, Salam Abdullah.

Beberapa kali warga mencoba menyuarakan masalah yang mereka hadapi, baik melalui unjuk rasa maupun pemberitaan media, tetapi hingga kini belum membuahkan hasil. Perusahaan tetap beroperasi sesukanya.
Gubernur Perintahkan Perusahaan Hentikan Pencemaran Lingkungan
Sejumlah persoalan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas industri nikel ditemukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Tengah pada 12 September 2025.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditemukan DLH terjadi di Kabupaten Morowali Utara. Temuan pertama adalah tercemarnya air sungai akibat limpasan air yang berasal dari tumpukan batu bara (stockpile) yang digunakan PLTU. Temuan kedua adalah tumpukan batu bara di lokasi jetty yang dibiarkan terbuka tanpa penutup dan tanpa geomembrane atau alas. Temuan ketiga adalah tumpahan oli di tempat penyimpanan sementara Limbah B3, dan keempat adalah pengalihan alur sungai yang belum tercantum dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kawasan.
Berdasarkan temuan-temuan ini, Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid mengeluarkan surat yang memerintahkan penghentian segera seluruh aktivitas empat perusahaan yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Perusahaan yang dimaksud adalah PT Stardust Estate Investment (PT SEI), PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI), PT Nadesico Nickel Industry (PT NNI), dan PT Satya Amerta Havenport (PT SAH).
Melalui surat Nomor 600.4.3.2/289/Dis.LH tertanggal 15 September 2025, gubernur menyampaikan tiga perintah yang harus dilaksanakan keempat perusahaan tersebut:
Menghentikan seluruh kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terhitung sejak tanggal dan saat surat ini diterbitkan.
Melaksanakan upaya pengendalian dan pemulihan lingkungan hidup sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berkoordinasi dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan pemulihan lingkungan hidup kepada Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tengah selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sejak diterimanya surat ini.
“Apabila Saudara tidak melaksanakan perintah tersebut, akan dikenakan sanksi administratif dan/atau denda administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pengawasan dan Sanksi Administratif Bidang Lingkungan Hidup. Demikian disampaikan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya,” tegas Anwar dalam surat tersebut.
Meskipun belum ada tanggapan terhadap surat tersebut perintah ini menjadi tantangan langsung terhadap praktik operasional yang telah lama mendefinisikan ekspansi industri cepat di wilayah tersebut, menyoroti kebutuhan mendesak akan akuntabilitas di tempat masyarakat telah merasa tak berdaya selama bertahun-tahun. (Ada)