Pulau Kabaena di Sultra dalam Ancaman Tambang Nikel

  • Bagikan
Dialog publik yang digelar UKM Pers IAIN Kendari dengan mengangkat tema masa depan masyarakat Pulau Kabaena akibat pertambangan nikel. (Ist)

ADASWARA.COM, KENDARI – Pulau Kabaena, adalah salah satu pulau kecil yang terletak di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara (Sultra) yang kini menjadi zona merah. Luasan wilayahnya yang hanya kurang lebih 891 km², 73 persen sudah dikuasai perusahaan tambang nikel.

Laporan terbaru yang dirilis tim peneliti dari Satya Bumi dan WALHI Sultra, mengungkapkan kerusakan lingkungan yang signifikan di Pulau Kabaena akibat eksploitasi nikel yang masif. Kondisi ini menjadi ancaman bagi masyarakat setempat termasuk warga Suku Bajau yang selama ini menggantungkan hidup di pulau tersebut.

“Aktivitas pertambangan di Kabaena telah menyebabkan deforestasi besar-besaran. Data menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, sebanyak 3.374 hektar hutan, termasuk 24 hektar hutan lindung, telah habis digunduli perusahaan,” ungkap peneliti Satya Bumi, Sayiidattihayaa Afra, melalui rilis persnya belum lama ini.

Hal ini pun mengundang perhatian Unit Kerja Mahasiswa (UKM) Pers Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari. Secara khusus, Sabtu (21/09/2024), mereka menggelar dialog publik dengan mengundang pengurus WALHI Sultra, Wa Ode Anisa, dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari, Nursadah, sebagai narasumber.

Wa Ode Anisa mengungkapkan bahwa hasil riset yang dikeluarkan Satya Bumi dan WALHI Sultra baru-baru ini menunjukkan Pulau Kabaena saat ini tengah dalam ancaman tambang nikel. Kerusakan lingkungan dan hutan yang terjadi di pulau tersebut dampaknya makin dirasakan masyarakat setempat.

“Bila aktivitas pertambangan terus dibiarkan tanpa mengikuti regulasi yang telah ditetapkan, maka keberlangsungan hidup masyarakat setempat akan semakin terancam,” kata Anisa.

Dalam situasi tersebut, lanjutnya, pihak pemerintah mestinya membuka mata dan telinga. Mereka mesti bertindak untuk menangani persoalan yang dihadapi masyarakat Pulau Kabaena saat ini.

“Tapi apakah pemerintah mau melakukan itu? Tentu ini menjadi tanda tanya besar karena faktanya masyarakat hanya terus dibiarkan menghadapi penderitaan, sehingga saya sendiri menyatakan mosi tidak percaya dengan pemerintah,” tegasnya.

Demikian halnya dikatakan, Nursadah. Katanya, untuk mengatasi persoalan yang terjadi di Pulau Kabaena saat ini keterlibatan semua pihak, tak terkecuali mahasiswa dan jurnalis.

“Pulau Kabaena perlu untuk kita kawal bersama. Pihak terkait perlu untuk terus kita dorong untuk menunjukkan kepeduliannya agar penderitaan masyarakat Pulau Kabaena bisa diminimalisir,” ujarnya.

Salah satu warga Pulau Kabaena, Suprin, yang turut hadir dalam dialog tersebut mengaku merasakan betul dampak dari aktivitas pertambangan di daerahnya. Dalam hal ini, perlu perhatian banyak pihak agar ketimpangan tidak terus terjadi.

“Kondisi masyarakat Pulau Kabaena jauh lebih baik sebelum hadirnya perusahaan tambang. Kalau ini terus dibiarkan maka 5 tahun ke depan Kabaena mungkin akan tenggelam,” tuturnya.

Sementara itu, sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No 1/2014) melarang tambang di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km². Namun, di Kabaena, pelanggaran aturan ini terlihat jelas hingga kerusakan hutan dan lingkungan tidak hanya mempengaruhi daratan, tetapi juga lautan. (Ada)

Baca Juga Berita AdaSwara.com di Google News: https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMIyQqAwwnpi2BA
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *