Rapor Merah 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Situasi Menakutkan, Rakyat Dikorbankan

  • Bagikan

ADASWARA.COM, JAKARTA – Indonesia Gelap bukan sekadar tagar, melainkan cerminan kondisi nyata di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. Kabinet yang gemuk dan tidak efektif, kebijakan yang mengabaikan hak asasi manusia dan lingkungan hidup, serta upaya sistematis mengembalikan dominasi militer di ruang sipil menjadi tanda kemunduran demokrasi.

Meski Prabowo kerap mengagungkan konstitusi dan kedaulatan rakyat dalam pidatonya, praktik pemerintahannya justru menyingkirkan keduanya. Catatan ini tidak hanya mencerminkan situasi nasional, tetapi juga menunjukkan bagaimana atmosfer represif merata di berbagai daerah.

Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran memperlihatkan arah demokrasi yang semakin menjauh dari semangat konstitusi. Ambisi memperkuat militerisme tampak dalam kebijakan dan praktik kenegaraan, termasuk pengesahan revisi Undang-Undang TNI yang memperluas peran militer di ruang sipil. Pemerintahan ini juga melanjutkan pola tata kelola ekstraktif warisan rezim sebelumnya, mengabaikan hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat.

WALHI menyampaikan catatan kritis tersebut, sekaligus peringatan tegas terhadap berbagai kebijakan, pendekatan, dan program pemerintahan Prabowo–Gibran yang dinilai merusak prinsip-prinsip keadilan ekologis serta mengorbankan keselamatan rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang bersifat represif, tidak berpihak pada keberlanjutan, dan memicu bencana ekologis menunjukkan arah pemerintahan yang abai terhadap hak rakyat dan masa depan lingkungan hidup.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI Even Sembiring menyebutkan, satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran diwarnai situasi yang menakutkan dan mengerikan bagi Indonesia. Target 8% pertumbuhan ekonomi membuat negara semakin menggenjot investasi, khususnya dari ekstraksi sumber daya alam.

“Pilihan cara ekonomi yang kapitalistik semakin menaruh rakyat dan lingkungan di bawah ancaman krisis. Hal ini kian dipeparah dengan pendekatan represif dan militeristik. Bermula dari pengesahaan perubahan UU TNI dan berlanjut ke beragam situasi represif lainnya,” kata Even dalam rilis media WALHI yang diterima ADASWARA.COM pada Selasa 14 Oktober 2025.

Sementara, Wengki Purwanto, selaku Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Barat menjelaskan nahwa pada dokumen RPJMN, Presiden menjabarkan visi Bersama Indonesiakata Maju menuju Indonesia Emas 2045 untuk konteks pulau Sumatera, dengan strategi/program prioritas pengembangan kawasan swasembada pangan, air, energi, serta kawasan komunitas unggulan. Hal itu diyakini akan mampu menumbuhkan ekonomi sumatera di angka 7, 2% di tahun 2029. Namun dalam satu tahun ini, rezim Prabowo Gibran gagal memastikan pemulihan hak rakyat dan hak lingkungan melalui penegakan hukum dan perlindungan ekosistem esensial seperti sumber air, pangan, dan lainnya.

“Mustahil, ekonomi rakyat kuat, jika ruang semakin menyempit, kawasan pangan hancur dan sumber air tercemar. 1 tahun RPJMN dijalankan, kita justru bergerak lebih cepat ke arah Indonesia Cemas 2045,” kata Wengki.

Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Selatan (Kalsel) menerangkan lebih lanjut bagaimana kondisi yang tengah terjadi. Kalsel saat ini mengalami krisis ekologis yang berkepanjangan tanpa ada perhatian yang komprehensif dari negara. Hari semua dilakukan dan dilaksanakan secara normatif, kecuali yang berhubungan dengan kepentingan di belakangnya. Misalnya distribusi kekuatan militer melalui peresmian KODAM baru untuk wilayah Kalsel apakah untuk membangun kepatuhan dengan rasa takut.

“Kalsel saat ini mempunyai masalah dengan perencanaan Taman Nasional Meratus karena tidak beriringan dan kontradiktif dengan kearifan lokal, budaya, hukum adat hingga ritus masyarakat adat di Meratus. Proyek semacam ini selalu dibuat dengan dipaksaan. Padahal kami bersama masyarakat adat berulang kali mengupayakan dialog dan menawarkan resolusi dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,” ujar Raden.

Jalan konsep pengetahuan lokal tentang konservasi wilayah, lanjutnya, bukan menghadirkan konsep konservasi barat yang bertentangan dengan hak ulayat. Ini mencederai kebhinnekaan dalam berbangsa. Sama saja negara menegasikan keberadaan masyarakat adat.

“Soal MBG juga menjadi persoalan di Kalsel, Kabupaten menjadi temuan kasus keracunan akibat proyek MBG, ini perlu dihentikan dulu, evaluasi proyek ini secara menyeluruh,” sambungnya.

Menambahkan catatan kritis yang ada, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka menyampaikan satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menunjukkan arah pembangunan yang kian berpihak pada investasi dan korporasi besar. Bukan pada perlindungan lingkungan dan rakyat.

Di balik narasi “kemandirian energi” dan “pertumbuhan hijau”, ungkap Wahyu, pemerintah justru melanjutkan ekonomi ekstraktif di Pulau Jawa melalui proyek waste to energy, PLTU batu bara, co-firing biomassa, dan giant sea wall yang merusak hutan, pesisir, dan ruang hidup rakyat.

“WALHI Region Jawa menilai, transisi energi yang dijanjikan hanyalah kedok bagi kelanjutan energi kotor. Tahun pertama rezim ini bukan masa pemulihan ekologis, melainkan masa akumulasi krisis dan konsolidasi kekuasaan fosil di bawah selubung hijau semu,” papar Wahyu.

Andi Rahman, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tenggara menyampaikan negara beserta ruang-ruang hidup rakyat saat ini telah dikuasai oleh segelintir elit ekonomi-politik. Mereka yang mengendalikan keputusan-keputusan publik justru mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya, terutama dalam pengelolaan sektor sumber daya alam (SDA), seperti pertambangan, perkebunan, dan energi”.

“Di Sulawesi Tenggara, ekspansi pertambangan nikel yang masif telah menyebabkan kerusakan serius terhadap sumber-sumber ekonomi lokal masyarakat. Pesisir dan laut yang menjadi tumpuan hidup para nelayan kini tercemar dan mengalami degradasi lingkungan yang mengancam keberlanjutan mata pencaharian mereka,” terang Andi.

Maikel Primus Peuki, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua juga menegaskan, Bregion Balu, Nusa Tenggara Timur dan Barat, Maluku Utara dan Papua memberikan kartu merah kepada pemerintah Prabowo. Sebab ekspansi perizinan semakin massif di wilayah Timur Indonesia.

WALHI menyerukan perubahan paradigma pembangunan, dari eksploitasi menuju pemulihan, dari retorika semu menuju keadilan sejati yang berpihak pada rakyat dan bumi. Selama arah kebijakan masih didikte oleh kepentingan modal dan logika pertumbuhan ekonomi, komitmen keadilan dan keselamatan hanya akan menjadi retorika diplomatik yang menutupi kenyataan bahwa krisis yang terjadi di Indonesia bukan sekadar persoalan teknis, melainkan hasil dari ketimpangan struktural dan politik yang terus dipelihara. (*)

Baca Juga Berita AdaSwara.com di Google News: https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMIyQqAwwnpi2BA
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *