Torobulu Jadi “Kotor” Demi Energi Bersih

  • Bagikan
Aktivitas pertambangan PT WIN tepat di pinggir lapangan sepak bola Desa Torobulu yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter lagi jalan raya. (Foto: Nursadah/ Adaswara.com)

ADASWARA.COM, KENDARI – Desa Torobulu terletak sekitar 60 kilometer dari Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Dikelilingi oleh perbukitan hijau dan garis pantai yang panjang, Torobulu adalah desa dengan potensi alam laut dan daratan yang melimpah. Maklum, sebagian besar dari sekitar 2.000 penduduknya hidup sebagai nelayan dan petani rumput laut.

Tapi itu dulu, sebelum nikel menjadi rebutan dunia dan Torobulu berubah menjadi halaman belakang industri global. Sekarang masyarakatnya menyandarkan hidup menjadi penambang dan berhenti jadi nelayan.

Dunia sedang berlomba melepaskan diri dari energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi. Transisi energi kini menjadi agenda global, dan Indonesia punya peran penting di dalamnya. Salah satu kunci energi bersih ini adalah nikel, logam strategis yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik dan teknologi energi terbarukan lainnya seperti solar panel.

Nikel meningkatkan kapasitas baterai, membuat mobil listrik bisa menempuh jarak lebih jauh. Ia juga digunakan dalam sistem penyimpanan energi untuk panel surya dan sebagai komponen penghantar panas dalam teknologi pembangkit tenaga matahari.

Sulawesi Tenggara, termasuk Torobulu, menyimpan sebagian besar cadangan nikel nasional. Tak heran, para investor berdatangan, menjanjikan “kemajuan” dan menyebut nikel sebagai solusi energi bersih, dan membawa bumi yang lebih hijau tanpa polusi.

Aktivitas pertambangan nikel di Desa Torobulu sendiri, berlangsung sejak 2001. Sejumlah perusahaan hadir mengeruk ore nikel di desa tersebut di antaranya PT Integra, PT Billy, dan PT WIN.

Salah satu yang kini masih aktif beroperasi di kawasan itu adalah PT Wijaya Inti Nusantara (WIN), dengan izin usaha pertambangan seluas sekitar 2.000 hektar. Tentu saja masyakarat berharap PT WIN akan mendatangkan kemakmuran bagi warga yang kawasannya penghasil nikel. Namun, mereka keliru.

Pertambangan malah menghadirkan masalah baru. Pertambangan itu membuat pertanian dan perkebunan warga rusak, laut tercemar lumpur, dan hutan digunduli. Bahkan, aktivitas tambang merangsek ke dekat pemukiman dan bangunan sekolah. Sedimen tambang mengalir ke laut, membuat nelayan kehilangan hasil tangkapan dan petani rumput laut kehilangan panen.

Ironisnya, kondisi ini luput dari perhatian dari pemerintah. Tak ada evaluasi maupun pengawasan hingga perusahaan tersebut terus melancarkan aktivitasnya untuk meraup keuntungan dengan memproduksi ore nikel.

Andi Firmansyah warga Torobulu mengatakan pemerintah seakan tutup mata dan tidak peduli dengan dampak yang dialami masyarakat Torobulu.

“Katanya nikel untuk energi bersih, tapi di sini yang kami lihat justru kerusakan dan kemiskinan,” ujar Andi Firmansyah.

Haslilin (32), ibu rumah tangga dan pejuang lingkungan Torobulu, mengaku khawatir bagaimana nasib rakyat jika tambang berhenti.

“Kami tak lagi punya laut, tak punya kebun. Kalau tambang pergi, kami mau hidup dari mana?” katanya.

Generasi muda pun merasakan dampaknya. Ayunia Muis, gadis Torobulu, menyuarakan keresahannya. Ia melihat masa depan yang buram jika kondisi ini terus berlanjut.

“Lahan perkebunan warga sebagian besar sudah dikuasai tambang dan diolah. Begitu juga hasil laut yang menjadi sumber mata pencaharian orangtua kami, juga terus mengalami penurunan,” lirih Ayunia Muis.

Ayunia Muis

Diakui wanita yang akrab disapa Ayu ini bahwa sebagian masyarakat Torobulu belum menyadari betul dampak yang akan terjadi ke depannya, karena masih bisa bekerja di perusahaan. Padahal, tanpa disadari sumber kehidupan mereka justru telah direnggut oleh perusahaan tambang.

“Kalau sudah tidak ada tambang kita mau apa lagi? Kita mau berkebun tanah perkebunan sudah diolah perusahaan, kemudian mau melaut juga produksi ikan juga sudah tidak menjanjikan,” tutur perempuan itu.

Ayu berpikir harusnya perusahaan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemulihan lingkungan dan ekonomi masyarakat Torobulu. Namun sejauh ini tidak program atau kegiatan nyata yang dilakukan PT WIN untuk memenuhi tanggung jawab tersebut.

“Perusahaan hanya ala-ala melakukan reklamasi, tapi setelah itu lahannya digali lagi jadi sama saja bohong,” ungkap Ayu.

Minim Pengawasan, Rakyat Berjuang Sendiri

Sejumlah masalah yang terjadi terhadap masyarakat Torobulu tersebut mengundang perhatian WALHI. Menurut Lembaga ini aktivitas PT WIN berdampak pada konflik sosial, lingkungan, kesehatan, dan ekonomi.

“Kami menduga aktivitas penambangan PT WIN tidak memerhatikan analisis dampak lingkungan dan melanggar aturan hukum yang kemudian berdampak pada kerusakan lingkungan, pencemaran air dan udara, serta kerusakan sumber mata pencaharian warga seperti tambak dan laut,” ucap Direktur WALHI Sultra, Andi Rachman.

Didampingi WALHI, warga yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Lingkungan dan HAM Torobulu beberapa kali menggelar aksi unjuk rasa. Mereka berharap agar aktivitas pertambangan PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) yang dianggap menjadi biang kerusakan, dapat dihentikan.

Aksi unjuk rasa Aliansi Pejuang Lingkungan dan HAM Torobulu pada Senin Februari 2025. (Ist)

Sayangnya, upaya perjuangan dan perlawanan itu tak kunjung membuahkan hasil. Sebab PT WIN masih bebas beroperasi tanpa tindakan tegas dari pihak berwenang.

“Kami sudah lelah hadapi kerusakan lingkungan. PT WIN Harus Berhenti Beroperasi di Torobulu,” kata Hermina, salah satu warga yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Lingkungan dan HAM Torobulu.

Ditegaskan, aktivitas PT WIN jelas keluar dari koridor yang telah tertuang dalam regulasi. Namun, evaluasi dari pihak terkait dalam hal ini pemerintah tak pernah ada dan bahkan terkesan tutup mata.

“Saya juga menyayangkan betapa lemahnya pengawasan lembaga-lembaga terkait untuk mengevaluasi aktivitas PT WIN yang beroperasi di Torobulu,” tegasnya.
Dikonfirmasi, PT WIN berdalih semua aktivitasnya sudah legal. Ganti rugi kepada masyarakat sudah dibayar, dan kegiatan mereka masuk dalam wilayah IUP. Mereka mengklaim rutin melakukan reklamasi, CSR, dan mendahulukan warga lokal dalam perekrutan kerja.

“Kami tak mungkin bekerja tanpa legalitas. Kami juga berkontribusi lewat bantuan sosial, sumur bor, dan sembako,” ujar Kasman, Humas PT WIN.

Namun, warga tak melihat dampak positif yang sepadan. Pemulihan hanya dilakukan “ala kadarnya”, dan lubang bekas tambang kembali digali. Lingkungan tetap rusak, dan kekhawatiran masa depan terus menghantui.

Apa yang terjadi di Torobulu mencerminkan paradoks besar dalam transisi energi: dunia menginginkan energi bersih, tapi menutup mata terhadap cara kotornya bahan baku diperoleh. Nikel mungkin membawa listrik bagi dunia, tapi di tempat asalnya, ia membawa kesuraman.

Generasi muda Torobulu juga mempertanyakan masa depan mereka.

Di tengah gemerlap visi global soal energi keberlanjutan, desa mereka justru kotor demi energi bersih.

“Kami kehilangan sumber hidup. Orang tua kami tak lagi melaut, lahan sudah dikeruk. Kami hanya bisa bertanya: apa yang tersisa untuk kami nanti?” kata Ayu. (ADA)

Baca Juga Berita AdaSwara.com di Google News: https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMIyQqAwwnpi2BA
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *